09 April 2017

Contoh puisi Naratif

Jenazah

Karya: Mansur Sarmin

Mataku terkapar ke tengah pintu dekat mimbar

Sorot lampu samping pilar

Dan aula yang tenang

Di tengah terbaring jenazah

Berpagar beranda bunga

Dan panji-panji Mahajaya

Malam makin tenang saja

Di benakku suara: hingar sekretariat negara

Sejenak tenang, langkah riuh berderap

Silang siur dengan kapal terbang

Gardu dan pagar-pagar besi gempar sekali

Kegaduhan dan sepatu duri berlari

Kemudian mataku hinggap ke jenazah

dekat kesamaran gerombol mahasiswa

terpacak bendera

Di ujung bangku tegak pekur para mahasiswa

di lengannya pita hitam dan selampai

Dari celah-celah mereka, kulirik kertas putih,

tertulis nama : Arief Rahman Hakim

Malam tambah jauh dan makin tua

Tiba-tiba di belakangku muncul mahasiswa

dengan ragu bertanya : “Bapak siapa?”

Wartawan atau alat negara?

Dengan sigap kujawab : “Saya penyair yang turut ambil bagian dalam demonstrasi tadi pagi!”

Di jalan pulang ke Timur,

desah gerimis mulai turun

Aku tunduk melangkah dan melangkah

Lama baru sadar kemeja telah basah

Kutatap belakang jauhan tampak gedung-gedung salemba

Nun aula Universitas Indonesia

Tempat upacara duka

Terbaring putra tanah air

Menanti kupahat dalam puisi


Narasi di suatu Pagi

Karya: W.S. Rendra

Dan bukan karna,hujan,angin ataupun kemarau
Pada peta perjalanan masa jahiliyah…
Saat khilafah perjuangkan rakyat jelata
Dan bukan karna,asa,siksa,ataupun jera
Malaikat memjelma bagai seorang peminta

Pagi, yang menghujamkan seribu bahasa

Dimulai saat ejaan kata tak lagi mengisyaratkan wacana

Tercucur sudah darah-darah mengalir di kediaman angan

Menghela nafas…

Embun terasa di kulit tangan..

Menyelinap butiran-butiran harapan

Pandanganku hanya tertuju pada langit

Tentang keteguhan, moral yang seakan dapat dibayar

Nadiku seakan merasuk otakku

Teduh dalam kiasan..

Sendu dalam lamunan..

Embun itu merasuk hatiku…

Apakah ini… bukan sekedar narasi

Ataukah persepsi..

Dari asa yang tertinggal…

Dari hati yang berbekal…

Pagi itu.. hanya aku yang tau

Bunga mekar menakjubkan…

Angin riang menyanyikan..

Embun datang menyerukan

Kar’na aku masih ada di suatu pagi

Kar’na aku masih bisa bermimpi…



Dongeng Sebelum Tidur

Karya: Goenawan Mohamad

“Cicak itu, cintaku, berbicara tentang kita.
Yaitu nonsens.”

Itulah yang dikatakan baginda kepada permaisurinya, pada malam itu. Nafsu di ranjang telah jadi teduh dan senyap merayap antara sendi dan sprei.

“Mengapakah tak percaya? Mimpi akan meyakinkan seperti matahari pagi.”

Perempuan itu terisak, ketika Anglingdarma menutupkan kembali kain ke dadanya dengan napas yang dingin, meskipun ia mengecup rambutnya.

Esok harinya permaisuri membunuh diri dalam api.

Dan baginda pun mendapatkan akal bagaimana ia harus melarikan diri - dengan pertolongan dewa-dewa entah dari mana - untuk tidak setia.

“Batik Madrim, Batik Madrim, mengapa harus, patihku? Mengapa harus seorang mencintai kesetiaan lebih dari kehidupan dan sebagainya dan sebagainya?’



Perahu Kertas

Karya: Sapardi DJoko Damono

Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali; alirnya Sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan.

“Ia akan singgah di bandar-bandar besar,” kata seorang lelaki tua.  Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala.

Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindu-mu itu.

Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,

“Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit.”



Asmaradana

Karya: Goenawan Mohamad

 

Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih menampakkan bimasakti yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tidak semuanya disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia takkan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba karena ia takkan berani lagi.

Anjasmara, adikku, tinggallah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku, kulupakan wajahmu.


Terima Kasih

No comments:

Post a Comment

Ana Maryam Copyright © 2015. Design by MaiGraphicDesign